Terkini Lainnya

Tuesday, July 9, 2019

Biaya Transfusi Darah Dinilai Tak Wajar, APH Diminta Telusuri Dugaan "Korupsi Darah" di PMI

Ketua Hipmi NTB, Syawaludin menunjukan bukti nota pembayaran RSU Provinsi NTB, item tranfusi darah dinilai tak wajar. (Istimewa) 


MATARAM - Pihak keluarga pasien penderita Leukimia, menuntut transparansi manajemen pelayanan RSU Provinsi NTB, PMI, dan juga BPJS.

Pasalnya, selain pelayanan yang kurang maksimal, biaya perawatan di RSUP NTB juga terkesan digelembungkan lewat item transfusi darah.

Syawaludin, kakak kandung Faizah (36) pasien Leukimia yang dirawat di RSUP NTB memaparkan, tagihan perawatan Faizah di RSUP NTB mencapai Rp10 juta lebih.

Tapi yang mengejutkan adalah item tranfusi darah dan biaya kantong darah yang mencapai Rp6 juta lebih.

Padahal, darah untuk kebutuhan tranfusi bagi Faizah, diupayakan pihak keluarga dengan donor dari kerabat termasuk Syawaludin yang tak lain kakak kandung Faizah.

"Ini kan gila !!, ibaratnya saya menjual darah saya ke adik saya sendiri," cetus Syawaludin, Selasa (9/7) di Mataram.

Menurutnya, Faizah dirawat selama empat hari di RSUP NTB.

Pada hari pertama hingga ketiga, Faizah dirawat menggunakan layanan BPJS di bangsal kelas II.

Selama tiga hari pertama, Faizah terkesan diabaikan. Tidak ada dokter yang menangani, dan hanya diberi tranfusi darah karena hemoglobinnya tercatat menurun.

"Tidak ada dokter dan tidak ada resep obat yang harus kami tebus. Nah, karena melihat pelayanan tidak maksimal dan kondisi adik saya memburuk, saya mintakan pindah ke ruang perawatan VIP masuk hari ketiga," katanya.

Menurut Syawaludin, setelah Faizah dirawat di ruang VIP baru ada dokter yang datang dan memeriksa. Ironisnya, baru saat itu juga diagnosa bahwa Faizah menderita Leukimia disampaikan pihak rumah sakit ke pihak keluarga.

"Hari keempat itu, begitu siangnya turun diagnosa menderita Leukimia, kondisi adik saya itu langsung drop, dan meninggal dunia," kata Syawaludin.

Ia menegaskan, sebenarnya enggan mempermasalahkan ini, karena keluarga berharap almarhumah Faizah bisa beristirahat dengan tenang.

Namun, demi kepentingan masyarakat lebih luas, hal ini tetap harus diungkap.

"Karena bukan tidak mungkin kasus yang sama kami alami ini juga menimpa masyarakat lainnya. Ini kan tidak benar, dan ada dugaan korupsi di dalamnya," katanya.

Dalam tagihan RSUP NTB yang diperlihatkan Syawaludin, tercatat biaya kebutuhan tranfusi dan layanan kantong darah mencapai Rp6 juta lebih, di mana tiap kantong berbiaya sekitar Rp475 ribu.

Padahal, kebutuhan darah untuk Faizah bukan diambil dari PMI melainkan disediakan sendiri oleh pihak keluarga dari sumbangan donor darah kerabat.

"Jadi PMI juga harus transparan dalam hal penyediaan darah untuk pasien yang membutuhkan," tegasnya.

Syawal menegaskan, pihaknya meminta aparat penegak hukum baik kepolisian atau kejaksaan untuk turun dan memeriksa dugaan praktik korupsi darah di PMI.

Sementara kritik Syawaludin untuk BPJS adalah soal transparansi kebijakan biaya, jika pasien harus meningkatkan pelayanan ke tingkat lebih baik seperti VIP.

"Masalahnya, saya pindahkan adik saya ke VIP itu hanya satu hari, tiga harinya dirawat di Kelas II dengan BPJS. Tapi ditagihan, justru dimasukan pasien umum sejak hari pertama. Ini kan tidak jelas aturannya," tukas Syawaludin.

Ia berharap apa yang dialami keluarganya ini bisa menjadi kritik dan masukan bagi tiga institusi, RSUP NTB, PMI dan BPJS.

Hal ini juga bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat untuk lebih teliti jika berurusan dengan tiga institusi itu.

"Masalah kesehatan masyarakat ini kan masalah negara, jadi konsen pemerintah. Bagaimana mau bagus, kalau masih ada dugaan praktik pungli bahkan korupsi di dalam sistemnya?. Aparat penegak hukum harus menelusuri ini," tegas Syawaludin.

No comments:

Post a Comment