ADMINDUK. Lokakarya konsolidasi Kelompok Kerja (Pokja) Identitas Hukum Provinsi NTB di Hotel Lombok Raya. |
MATARAM - Kelompok masyarakat penyandang disabilitas fisik dan juga mental, serta kelompok masyarakat lanjut usia (Lansia) masih sulit mengakses layanan administrasi kependudukan (Adminduk) di sejumlah daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Hal tersebut terungkap dalam Lokakarya Konsolidasi Pokja Identitas Hukum Provinsi NTB, yang digelar Kamis (1/8) di Hotel Lombok Raya, Mataram.
"Ada kendala dan tantangan yang terungkap, beberapa perwakilan kelompok difabel dan lansia yang dia tak bisa kemana-mana, ternyata masih sulit mengakses layanan adminduk," kata Front Line Service KOMPAK Nusa Tenggara Barat, Susan Dewi, kepada Mandalikapost.com, di sela kegiatan.
Susan menjelaskan, sebenarnya sudah ada beberapa daerah di NTB yang membuat program inovasi melalui Dinas Dukcapil setempat.
Hanya saja, program-program inovasi Dukcapil kurang tersosialisasikan hingga ke tingkat bawah di pedesaan terutama untuk penyandang Disabilitas dan lansia..
"Misalnya program inovasi berbasis jemput bola, itu sudah ada. Tapi karena mereka (difable dan lansia) tidak bisa keluar rumah, dan kelompok kerja adminduk level desa belum membuat list ke Dukcapil, sehingga mereka tidak terakses layanan," kata Susan.
Ke depan diharapkan agar kelompok kerja (Pokja) adminduk di level Desa bisa membuat daftar tentang jumlah penyandang disabilitas dan lansia di wilayah masing-masing, lalu dilaporkan ke Dinas Dukcapil setempat.
"Harus ada list (misalnya) di desa atau dusun ada berapa yang disabilitas fisik, disabuilitas mental, atau lansia yang tidak bisa kemana. Sehingga ketika Dukcapil menerima data tersebut, akan lebih mudah ditangani," katanya.
Kegiatan Lokakarya Konsolidasi Pokja Identitas Hukum Provinsi NTB terselenggara atas kerjasama Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB, KOMPAK, Unicef, dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA).
Lokakarya dihadiri sejumlah perwakilan Pokja Adminduk dari Kabupaten/Kota di NTB.
Lokakarya dihadiri sejumlah perwakilan Pokja Adminduk dari Kabupaten/Kota di NTB.
Susan Dewi menjelaskan, Lokakarya dan Konsolidasi Pokja Adminduk ini merupakan tindak lanjut upaya percepatan cakupan Adminduk di NTB.
Sebelumnya sudah dilakukan pertemuan Forum Dukcapil NTB yang mempertemukan perwakilan Dinas Dukcapil dari masing-masing Kabupaten?Kota di NTB.
"Kemarin kita sudah menggelar forum Dukcapil, tantangan kendala dan solusinya sudah teridentifikasi. Sekarang dari sisi level organisasi masyarakat sipil dan masyarakatnya sendiri, kira-kira kendala apa yang dirasakan masyarakat dalam akses dokumen adminduk ini," katanya.
Ia menambahkan, selain soal akses penyandang disabilitas dan lansia, keluhan yang dominan muncul dalam kegiatan tersebut adalah soal isbat nikah yang berdampak pada akte kelahiran anak.
Sementara itu, Direktur Assosiasi Implementasi Program PUSKAPA Muhammad Jaedi menilai, secara nasional upaya percepatan cakupan Administrasi Kependudukan (Adminduk) sudah cukup baik pada tataran regulasi atau kebijakan pemerintah.
Namun dalam implementasi di daerah, masih ada sejumlah kendala dan tantangan yang membuat upaya percepatan belum bisa maksimal.
"Masalah dan tantangan kita saat ini bukan lagi di tataran regulasi, tapi pada tataran implementasi kebijakannya. Salah satunya adalah masih kurangnya tenaga registrasi kependudukan di tingkat Desa atau Kelurahan," kata Muhammad Jaedi.
Ia mencontohkan, dalam Undang-undang Adminduk diatur bahwa semestinya tiap Desa atau Kelurahan memiliki petugas adminduk yang disebut petugas registrasi.
Petugas registrasi ini diangkat dan diberhentikan dengan SK Kepala Daerah, Bupati/Walikota.
Namun dalam implementasinya masih sangat minim dilakukan.
"Karena konsekwensinya memang honor mereka harus ditanggung APBD. Kalau desanya cuma 50 enteng, tapi kalau di Jawa misalnya, desa itu bisa ratusan. Ini yang mungkin dirasa berat untuk daerah," katanya.
Kurangnya petugas registrasi ini berpengaruh pada lambannya pencatatan dan pembuatan akte kelahiran terutama pada klasifikasi anak 0-1 tahun, dan 1-5 tahun, secara nasional.
"Data nasional untuk anak 0-18 tahun itu kita cukup bagus. Tapi kalau dipisahkan ke klasifikasi 0-1 dan 1-5 akan terlihat beda jauh. Salah satu penyebabnya ya itu tadi masih kurang perugas registrasi di tingkat Desa atau Kelurahan," katanya. (*)
No comments:
Post a Comment