Nauvar Furqony Farinduan. (Istimewa) |
MATARAM - Proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana gempa bumi terkesan masih berjalan lamban.
Setahun pasca gempa Juli-Agustus 2018 lalu, hingga kini realisasi pembangunan rumah tahan gempa (RTG) belum maksimal.
Padahal, pemerintah pusat sudah menggelontorkan dana tak kurang dari Rp5,1 Triliun untuk tahap rehab rekons ini. Jumlah yang hampir setara dengan satu tahun APBD Provinsi NTB.
Anggota DPRD NTB terpilih Dapil KLU - Lombok Barat, Nauvar Furqony Farinduan mengatakan, untuk membantu proses percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pemerintah perlu membentuk Satuan Kerja (Satker) Percepatan atau Tim Adhoc sebagai akselarator.
"Saya rasa perlu dibentuk tim akselerator yang berkerja langsung di bawah kendali Gubernur dan Bupati (daerah terdampak), untuk membantu percepatan," kata Farin, Jumat (16/8) di Mataram.
BACA JUGA : Miris, Setahun Berlalu Ribuan Korban Gempa Masih Tinggal
di Tenda dan Huntara Swadaya !!
Ia memaparkan, setelah tim terbentuk struktur tim tersebut secara vertikal diturunkan menjadi dua satuan kerja (Satker).
Satker pertama atau Tim Kerja 1 bertugas khusus sebagai tim pekerja yang berfungsi untuk percepatan penyelesaian terkait hal-hal teknis untuk rehab rekon, dimana tim ini terdiri dari unsur pemerintah daerah, BPBD, fasilitator dan aplikator.
Sedangkan Satker kedua atau Tim Kerja 2 bertugas sebagai tim supervisi yang berfungsi untuk mengawal proses percepatan rehab rekon, dan juga dampak/resiko sosial akibat proses rehab rekon tersebut.
"Satker atau pokja ini berisi unsur tokoh atau simpul-simpul kemasyarakatan dan atau pihak yang terkait yang benar-benar memahami dampak permasalahan dan juga kearifan lokal setempat," katanya.
Menurutnya, kedua Satker atau Tim Kerja itu kemudian bekerja secara otonom dan masing-masing di bawah kendali langsung Gubernur dan Bupati/Walikota darah terdampak.
Selain itu, tambah Farin, selama rehab rekons OPD teknis yang berkaitan langsung dengan resiko dampak gempa ini, juga harus mampu mengalokasikan anggaran stimulus sebagai biaya pendampingan hidup untuk para korban dampak.
"Setidaknya alokasi tersebut dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
primer yang mendasar bagi para korban selama merela masih tinggal di Huntara," katanya.
Politisi muda yang mewakili masyarakat di dapil Lombok Utara dan Lombok Barat sebagai Anggota DPRD NTB terpilih ini, mengaku merasakan empati melihat masih banyak kondisi para korban gempa yang memprihatinkan di dua daerah itu.
"Saja baru saja melayat di Desa Kekait, Lombok Barat, dan saya lihat sendiri di sana proses pembangunan rumah bantuan masih dalam proses pengerjaan. Padahal sudah satu tahun lebih gempa ini terjadi, dan masyarakat masih banyak yang belum bisa tinggal di rumah yang layak," katanya.
Farin menekankan, Gubernur dan Bupati di daerah terdampak harus benar-benar serius dalam penyelesaian permasalahan dampak pasca gempa ini.
"Sebab bagaimana pun ke"GEMILANG"an kinerja atas pelayanan pemerintah akan dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat secara langsung, apabila aksi cepat tanggap pelayanan pemerintah dapat disajikan dalam penyelesaian permasalahan khususnya rehab rekon bagi masyarakat yang terkena dampak," katanya.
BACA JUGA : Miris, Setahun Berlalu Ribuan Korban Gempa Masih Tinggal
di Tenda dan Huntara Swadaya !!
Lambannya proses rehabilitasi dan rekonstruksi juga mencuat dalam Refleksi 1 Tahun Bencana Gempa Bumi NTB, yang digelar Walhi NTB bersama Gravitasi NTB dan YSI, Kamis (15/8) di Mataram.
"Sudah satu tahun pasca bencana gempa, masalah rehab rekons ini terkesan makin rumit dan kompleks masalahnya. Dari 72 ribu rumah rusak berat, catatan kami hingga kini baru sekitar 2 ribu rumah yang sudah kembali terbangun. Ini yang ingin kita dorong untuk mencari masalah dan merumuskan solusi-solusinya dalam diskusi refleksi ini," kata Ketua Walhi NTB, Murdani.
Refleksi 1 tahun pasca gempa NTB yang digelar Walhi NTB bersama Gravitasi dan YSI, di Mataram. |
Menurutnya, kompleksitas permasalahan justru terjadi ketika proses penanganan pasca bencana yang tadinya ditangani langsung pemerintah pusat diambilalih ke Pemda Provinsi NTB pada sejak Maret 2019 lalu.
Meski dengan dukungan anggaran pusat yang mencapai Rp5,1 Triliun, toh kinerja daerah tak mampu maksimal menuntaskan proses rehab rekons ini.
"Jadi seharusnya (Pemda) jangan hanya melihat gelondongan angaran yang besar itu, tapi kapasitas kita di daerah belum mampu mengelolanya. Ini kan kesannnya dipaksa ambil-alih, tapi sampai hari ini soal data saja masih berdebat, belum lagi masalah masih banyak di lapangan soal aplikator, tenaga tukang yang kurang dan lain sebagainnya," katanya.
Murdani mengatakan, di beberapa lokasi para korban gempa yang sampai saat ini masih tinggal di hunian sementara, juga mulai terlanda bencana lainnya yakni kekeringan dan krisis air bersih.
Hal ini akan menimbulkan masalah-masalah sosial lainnyake depan, jika tidak segera ditangani.
"Di beberapa lokasi keperluan air bersih mereka kesulitan, sementara mereka juga masih tinggal di tempat yang tidak layak. Kalau nanti masuk musim hujan, akan datang masalah baru lagi," katanya.
Penanganan pasca bencana gempa di NTB juga dinilai lebih lamban jika dibanding dengan penanganan gempa bumi Yogyakarta.
Husaini dari Yayasan Sheep Indonesia (YSI), menilai belum terbangunnya sistem informasi dan komunikasi penanganan bencana di NTB menjadi salah satu penyebab.
Sebagian besar korban gempa bumi di NTB kesulitan mengakses informasi terkait hak-hak mereka dan juga kemana mereka harus bertanya.
Hal ini ditemukan juga di wilayah pendampingan YSI di Kabupaten Lombok Utara.
"Jadi informasi dari pemerintah, Pemda atau BPBD lebih sering berhenti di Kepala Desa atau Kadus, tidak sampai ke masyarakat," kata Husaini.
Akibatnya, terjadi kebuntutan komunikasi dimana masyarakat tak tahu apa saja hak-hak mereka, sementara pemerintah tak bisa pula memastikan apa saja kebutuhan masyarakat yang sebenarnya, terutama di masa pasca bencana ini. (*)
No comments:
Post a Comment