PENYERAHAN RTG. Kasad Jenderal TNI Andika Perkasa bersama Gubernur NTB Dr H Zulkieflimansyah dan Kepala BPBD NTB H Ahsanul Khalik di sela penyerahan 60 ribu lebih RTG di Bertais, Kota Mataram. |
MEMPERBAIKI dan membangun kembali lebih dari 222 ribu rumah yang rusak akibat gempa bumi 2018 di NTB, bukan hal yang mudah. Meski menghadapi beragam masalah dan kendala, namun model rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana di NTB kini jadi percontohan nasional.
Panca Nugraha / MandalikaPost.com
Lalu Mandra Guna (42), sedang bercengkrama dengan dua anaknya di teras rumahnya, di Dusun Pengempel, Kelurahan Bertais, Kecamatan Sandubaya, Kota Mataram.
Selasa sore (13/8/2019), suhu udara cukup menyengat, namun rumah Mandra terlindung sejuk pohon mangga madu di pelataran.
Mandra ingat benar, setahun lalu, 13 Agustus 2018, di ranting-ranting batangan pohon mangga itu, tali temali diikatnya untuk membangun tenda dan terpal.
Mandra termasuk salah satu dari 75 ribu keluarga di NTB yang rumahnya terkategori rusak berat akibat gempa bumi 2018.
"Ingat benar waktu gempa (2018) itu. Rumah kami hancur rata tanah, dan harus bersabar hidup di tenda. Tapi alhamdullilah, sekarang kami sudah bisa (hidup) normal sudah ada RISHA bantuan pemerintah," kata Mandra.
RISHA merupakan akronim dari Rumah Intant Sehat Sederhana, salah satu model rumah tahan gempa (RTG) yang direkomendasikan pemerintah dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana gempa di NTB.
Rumah Mandra selesai dibangun kembali pada Februari 2019, dengan dana stimulan bantuan pemerintah senilai Rp50 juta.
"Kami bangga juga karena rumah kami termasuk dalam 2.000 rumah yang diresmikan oleh Presiden Jokowi pada April 2019 lalu," katanya.
Ia mengaku, sempat pesimistis dengan pembangunan RTG, lantaran sistem administrasinya yang nampak ribet. Tapi berkat kerjasama tim yang sinergi antara Kelompok Masyarakat (Pokmas), fasilitator sipil dan TNI-Polri, serta pola gotong royong yang diterapkan warga, ratusan RTG di Kelurahan Bertais, bisa selesai.
Ia menyampaikan apresiasi pada petugas TNI Polri, BPBD dan para fasilitator dan aplikator yang sudah ikut membantu proses ini.
Bukan saja bisa kembali menata kehidupan seperti biasa, menurut Mandra, tinggal di RTG RISHA, kekhawatiran jika terjadi gempa bumi susulan sudah tidak terlalu menjadi trauma.
"Pas 17 Maret, itu kan ada gempa bumi lagi yang banyak rusak Lombok Timur. Kita juga terasa keras di sini, tapi istri dan anak-anak tidak terlalu panik, karena RISHA ini ternyata memang tahan gempa," katanya.
Kota Mataram termasuk dalam tujuh Kabupaten dan Kota sewilayah NTB yang terdampak gempa bumi 2018. Namun karena kerusakannya tidak terlampau banyak, progress rehabilitasi dan rekonstruksi pun lebih cepat diraih, seperti juga Sumbawa dan Sumbawa Barat.
Gempa 2018 berdampak paling parah di Kabupaten Lombok Utara, Lombok Barat, dan sebagian Lombok Tengah, serta Lombok Timur.
Berbeda dengan Lalu Mandra Guna, nasib kurang beruntung dialami Amaq Pandiana (52), warga Dusun Dasan Tengak Timuk, Desa Sembalun Timba Gading, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur.
Hingga 16 Agustus 2019, atau setahun setelah gempa bumi 2018, Pandiana bersama istri, harus rela berbagi tenda hunian sementara dengan anak serta menantu dan empat cucunya.
Padahal, rumah Pandiana rusak berat sejak gempa bumi 6.4 Magnitudo melanda Sembalun dan Sambelia 29 Juli 2018 silam.
"Sebelum (rumah rusak karena) gempa tahun lalu, memang anak dan menantu tinggal satu rumah dengan saya. Karena (rumah) sampai sekarang karena belum jadi, ya kita juga tinggal sama-sama di rumah seadanya ini lah," kata Amaq Pandiana.
Menurutnya, data keluarga dan dokumen lain miliknya sudah tercatat sebagai penerima bantuan RTG dari pemerintah. Tapi, kelengkapan administrasi dan lambatnya pola kerja Kelompok Masyarakat (Pokmas) di sana menghambat proses pembangunan.
Menurutnya, data keluarga dan dokumen lain miliknya sudah tercatat sebagai penerima bantuan RTG dari pemerintah. Tapi, kelengkapan administrasi dan lambatnya pola kerja Kelompok Masyarakat (Pokmas) di sana menghambat proses pembangunan.
Pandiana berharap pemerintah ikut turun tangan agar pembangunan rumahnya cepat selesai.
"Ya kita tidak tahu harus kemana, tiap ke kantor Desa hanya disuruh sabar dan menunggu saja," katanya.
Data BPBD NTB menyebutkan, gempa bumi beruntun yang terjadi di Lombok dan berdampak hingga Sumbawa pada Juli-Agustus 2018 silam telah menyebabkan kerusakan sebanyak 222.564 unit rumah, tersebar di 7 daerah Kabupaten dan Kota.
Jumlah rumah yang rusak tersebut terdiri dari 72.138 unit rumah rusak berat (RB), 33.373 unit rumah rusak sedang (RS), dan 114.053 unit rumah rusak ringan (RR).
Pemerintah pusat sudah menggelontorkan dana lebih dari Rp5,1 Triliun untuk bantuan stimulan untuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Dana tersebut disalurkan untuk stimulan pembangunan RTG senilai Rp50 juta untuk tiap rumah rusak berat, dan stimulan perbaikan senilai Rp25 juta untuk tiap rumah rusak sedang, dan Rp10 juta untuk rusak ringan.
Setahun pasca gempa 2018, hingga akhir Agustus 2019 progress rehabilitasi dan rekonsruksi terus berjalan di NTB.
Banyak masyarakat yang sudah bisa menikmati tinggal seperti sediakala di RTG yang sudah terbangun, namun tak sedikit yang masih harus bersabar menunggu proses pembangunan dan perbaikan rumah mereka.
Kepala BPBD NTB, H Ahsanul Khalik menjelaskan, ada cukup banyak hal yang menjadi penghambat progress rehabilitasi dan rekonstruksi. Namun semua bisa diurai dengan beragam pendekatan.
"Misalnya, keinginan masing-masing anggota Pokmas berbeda-beda untuk jenis RTG, itu kan jadi kendala. Sehingga mulai kita terapkan pola zonasi, jadi zona ini jenis RTG apa yang cocok dan lainnya apa. Ini membantu percepatan," katanya.
Selain itu, banyak juga ditemukan data anomali di masyarakat. Data anomali dimaksud misalnya, rumah sudah dibangun (untuk RB) atau diperbaiki (untuk RS dan RR) dengan upaya dan dana masyarakat sendiri, namun dana bantuan belum bisa dicairkan karena masih harus ada pemeriksaan khusus konstruksi dari tim khusus yang dibentuk Bupati/Walikota di masing-masing wilayah terdampak.
"Kalau data anomali ini sepertinya ada 40 ribuan, tersebar di 7 Kabupaten/Kota terdampak," katanya.
Ahsanul menegaskan, proses percepatan tetap dilakukan.
Berdasarkan data progress rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana gempa NTB per tanggal 20 Agustus 2019 tercatat sebanyak 171 ribu yang berhasil dibangun dan diperbaiki, serta dalam proses perbaikan.
Pada 6 Agustus 2019, serahterima sekitar 60.299 unit RTG dilakukan secara simbolik oleh Kepala Staf TNI AD Jenderal TNI Andika Perkasa, bersama Gubernur NTB Dr H Zulkieflimansyah dan Walikota Mataram H Ahyar Abduh dipusatkan di Lingkungan Gontoran, Kelurahan Bertais, Kota Mataram.
Kunci RTG umah Tahan Gempa secara simbolik kepada lima perwakilan warga dari lima Kabupaten/kota di NTB yang terdampak gempa bermagnitudo 6,4 pada 29 Juli dan gempa bermagnitudo 7,0 pada 5 Agustus 2018 lalu.
Rumah tahan gempa itu diserahkan kepada masyarakat yang mengalami kerusakan rumah pada saat gempa silam, yakni terdiri dari 15.143 unit rusak berat (RB), 10.530 unit rusak sedang (RS) dan 34.626 unit rusak ringan (RR).
Jadi Percontohan Nasional
Kesan lamban proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana di NTB, sebenarnya lebih kepada prinsip kehati-hatian dalam penggunaan dana pemerintah.
Selain harus bisa dipertanggungjawabkan, melalui dana stimulan rehab rekons tersebut pemerintah harus memastikan bahwa rumah yang terbangun adalah rumah tahan gempa.
"Kita harus pastikan bahwa yang dibangun memang rumah tahan gempa, karena wilayah kita di NTB termasuk dalam ring of fire. Jangan sampai rumah sudah dibangun akhirnya rusak lagi akibat gempa, karena dibangun tidak standar tahan gempa," kata Wakil Gubernur NTB, Dr Hj Sitti Rohmi Djalilah, dalam pembukaan Lokakarya Nasional tentang Shelter dan Pemukiman Pasca Bencana, Selasa (20/8) di Hotel Lombok Raya, Mataram.
Wagub NTB Dr Hj Sitti Rohmi Djalilah bersama Kepala BNPB Letjen TNI Doni Morado dalam Lokakarya Nasional, Agustus 2019 di Mataram. |
Dalam kegiatan yang dihadiri Kepala BNPB, Letjen TNI Doni Morado itu, Wagub Rohmi menjelaskan bagaimana pemerintah NTB dan stakholders terkait menangani bencana gempa bumi 2018 lalu.
"Kami bekerja menangani bencana gempa, di saat gempa bumi masih terus terjadi saat itu," katanya.
Gempa pertama mengguncang Lombok pada 29 Juli 2018 yang merusak Sembalun dan Sambelia di Lombok Timur.
Seminggu kemudian, gempa bumi 7.0 M kembali mengguncang pada 5 Agustus 2018.
Akibatnya 573 orang tercatat korban jiwa, 400 ribu lebih mengungsi, dan 222 ribu rumah rusak.
"Hari-hari kami alami guncangan, ada lebih dari 2000 kali gempa setelah itu, selama proses tanggap darurat. Dimana sebelumnya kami tidak aware dengan ancaman bencana gempa ini," katanya.
Ummi Rohmi menjelaskan, dalam penanganan pasca bencana, NTB sudah berupaya cepat melewati masa emergency tanggap darurat, masa transisi hingga masa rehabilitasi dan rekonstruksi.
Rohmi menilai, ada pelajaran berharga dalam setiap musibah. Termasuk bencana gempa bumi di NTB.
"Yang utama ke depan harus dimaksimalkan literasi mitigasi. Kemudian sinergitas lintas sektoral ketika bencana terjadi, siapa berbuat apa dan bagaimana teknisnya. Perlu upaya pemaksimalan rencana kontijensi dalam pembangunan ke depan," katanya.
Dari sisi dampak kerusakan, kerugian materiil dan korban jiwa serta luka, gempa bumi NTB sudah bisa dikategorikan sebagai bencana nasional. Tapi karena sistem pemerintahan masih berjalan normal pasca gempa, status NTB tetap bukan bencana nasional.
Namun, kemampuan NTB menangani dampak bencana gempa bumi 2018, dinilai patut ditiru daerah lainnya.
Kepala BNPB, Letjen TNI Doni Morado mengatakan pola penanganan pasca bencana dan proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa bumi di NTB akan dijadikan sebagai model percontohan nasional.
"NTB memang luar biasa, baik Gubernur, Wakil Gubernur, Kepala BPBD hingga TNI Polri dan juga masyarakat sendiri mampu bersinergi dalam percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Ini akan jadi contoh nasional, sehingga dari Pemda Sulawesi Tengah juga hadir dalam lokakarya ini untuk belajar," kata Doni Morado, saat membuka Lokakarya Nasional tentang Shelter dan Pemukiman Pasca Bencana, Selasa (20/8) di Hotel Lombok Raya, Mataram.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menargetkan pembangunan lebih dari 222 ribu rumah yang rusak akibat gempa bumi 2018 di Lombok, NTB, akan tuntas pada akhir Desember 2019 mendatang.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menargetkan pembangunan lebih dari 222 ribu rumah yang rusak akibat gempa bumi 2018 di Lombok, NTB, akan tuntas pada akhir Desember 2019 mendatang.
Doni Morado menjelaskan, pemerintah melalui rapat koordinasi di Kemenko PMK sudah memutuskan memperpanjang masa transisi darurat pasca bencana Gempa NTB.
Masa transisis darurat yang seharusnya selesai pada 25 Agustus 2019, diperpanjang hingga 25 Desember 2019.
Doni menekankan, pemerintah sangat peduli dan serius menangani dampak pasca bencana gempa bumi di NTB.
Menurutnya, kesan lambannya perbaikan rumah dan pembangunan kembali Rumah Tahan Gempa (RTG) di NTB karena memang jumlah kerusakan akibat gempa sangat banyak.
Gempa beruntun Juli-Agustus 2018 silam telah merusak lebih dari 222 ribu rumah tersebar di tujuh daerah Kabupaten/Kota di NTB. 75 ribu diantaranya rusak berat dan harus dibangun kembali dengan konsep RTG.
Pemerintah sudah menyalurkan dana sebesar Rp5,1 Triliun sebagai dana stimulan bantuan korban gempa untuk korban gempa yang rumahnya rusak.
Menurut Doni, Presiden Jokowi meminta agar proses penataan kembali NTB pasca bencana menjadi prioritas.
Ia menilai kinerja perbaikan dan pembangunan RTG di NTB sudah mengalami peningkatan percepatan signifikan.
"Sebab, bisa dibilang kita mulai efektif itu pada bulan Maret 2019, dan saat ini sudah 171 ribu dikerjakan. Ini sudah termasuk cepat," kata Doni.
Bukan hanya nasional, model rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa bumi NTB juga akan menjadi contoh baik bagi negara-negara lainnya, terutama di kawasan Asia Pasific yang memang rawan gempa bumi.
International Federation Red Cross (IFRC) menilai, penanganan pasca bencana sejak tanggap darurat, transisi, dan rehabilitasi dan rekonstruksi di NTB bisa menjadi pelajaran baik bagi negara rawan lainnya.
Koordinator Klaster Shelter Global - Ela Serdaloglu mengatakan, yang visa dipetik dari NTB adalah bagaimana memastikan masyarakat bisa bertransisi secara aman, nyaman, dan bermartabat. Sampai mereka bisa memiliki rumah kembali dan hidup normal kembali.
"Apa yang dilakukan NTB, bisa menginspirasi negara-negara lainnya juga," kata Ela. (*)
No comments:
Post a Comment