DISKUSI PARIWISATA. Sejumlah pelaku wisata bersama wartawan peduli pariwisata dalam diskusi pariwisata di Hotel Santika Mataram. |
MATARAM - Sudah jatuh makan tangga pula .. !!. Pepatah jatuh tertimpa tangga yang diplesetkan menjadi ungkapan satir mengelitik untuk menghibur diri, Rabu sore (6/2) terlontar dalam diskusi pariwisata di Cafe Bayan, Hotel Santika Mataram.
Ya, perspektif kondisi pariwisata Lombok dan NTB secara umum, saat ini memang bisa dibawa kemana saja. Suka- suka hati, tergantung siapa lawan bicara.
Laporan staf Dinas Pariwisata kepada Kepala Dinas tentu selalu mengabarkan cerita gembira. Begitu pun laporan Kepala Dinas Pariwisata kepada Menteri Pariwisata ; recovery Lombok berjalan on the track.
Sangat rapi, birokratis, cari aman saja, dan dimuat koran-koran lokal berbubuh advertorial. Sementara itu, di saat yang sama pelaku wisata di kawasan Senggigi, menghela nafas panjang saat membaca potongan halaman koran yang sama.
Sebab, faktanya kawasan wisata andalan Lombok Barat itu, masih "mati suri" hingga saat ini.
"Rerata okupansi kami di bawah 20 persen. Banyak faktor penyebab, selain dampak gempa yang belum pulih benar, juga sedang low season, ditambah lagi harga tiket (pesawat) yang mahal. Ibarat pepatah (pariwisata kita) sudah jatuh, makan tangga," tukas Binang Oddie, GM Hotel Montana Premier Senggigi, dalam diskusi.
Senggigi praktis "mati suri" setelah gempa bumi Juli-Agustus 2018 lalu. Meski saat ini seluruh infrastrujktur penunjang wisata dibenahi, toh angka kunjungan wisatawan belum mampu terdongkrak.
Upaya pelaku wisata dan stakeholders kepariwisataan untuk meyakinkan bahwa Lombok sudah aman dan nyaman lewat sejumlah promosi inisiatif swadaya tak banyak memberi dampak.
Sementara promosi versi pemerintah, melalui Lombok Sumbawa Great Sale (LSGS) 2019 sepanjang Februari ini, juga ada tanda-tanda bakal lekang oleh waktu tanpa hasil yang signifikan.
Event pembuka dari 18 event dalam Calendar of Event (CoE) Pariwisata NTB 2019 itu, hanya meriah dan memukau dalam seremoni peluncurannya saja. Selanjutnya, hanya jadi kenangan, pelengkap bahan cerita "sudah jatuh makan tangga".
"Selama ini kesannya (Pemda) jalan sendiri. Akhirnya, yang buat event kita, yang mempromosikan kita, dan yang nonton atau menikmati ya kita-kita juga, masyarakat NTB. Tamunya mana? wisatawannya mana?. Padahal event-event ini kan dibuat untuk menarik wisatawan biar datang," kata GM Hotel Santika Mataram, Reza Bovier.
Dalam diskusi itu, event LSGS 2019 dikritisi dari beberapa aspek. Dari sisi perencanaan event ini jelas tidak melibatkan pelaku wisata dan tidak dibicarakan intens jauh sebelum launching event dilakukan.
Timing untuk promosi akhirnya tidak terukur. Event great sale yang dijadwalkan 28 Januari-28 Februari baru dipromosikan pada bulan Januari. Waktunya mepet, dan dampaknya juga pasti tak signifikan.
Sisi lainnya, LSGS 2019 juga dinilai kurang peka dengan kondisi pariwisata daerah saat ini. Para pelaku wisata mengaku, dalam kondisi low season, diperparah dengan tingginya harga tiket, mau tak mau mereka pun sudah "banting harga" untuk menarik minat kunjungan.
"Malah hotel kami diskon sampai 50 persen. Dan ini dengan atau tanpa LSGS pasti dilakukan. Diskon kami juga sampai April 2019, sudah nggak ada LSGS juga tetap dilakukan. Masalahnya, nggak ada (tamu) yang datang, biar didiskon sampai berapa pun ya percuma saja," kata Binang Oddie.
Para pelaku wisata menilai Pemda Provinsi NTB dan Pemda Kabupaten dan Kota sebagai pemilik destinasi, harus mulai berpikir keras.
Mulai berani keluar dari pola pikir birokratis, dan mulai menyelesaikan "masalah" yang tengah melanda pariwisata NTB ini, tidak sekadar matematis dalam laporan yang "asal bos senang".
Yang dibutuhkan saat ini adalah perbanyak promosi. Tapi bukan promosi dengan cara mengirimkan utusan Dinas atau pejabat ke luar daerah atau ke luar negeri. Karena promosi model begini sudah pasti hanya makan anggaran, sementara hasilnya cuma manis dalam laporan dan rapat-rapat evaluasi.
"Lagipula itu hanya buang-buang anggaran. Lebih baik anggaran yang ada digunakan misalnya untuk mensubsidi travel agent atau pelaku wisata di daerah lain, misalnya Bali. Subsidi mereka dan minta mereka datangkan tamu dengan membuat paket ke Lombok. Ini akan lebih terasa dampaknya," timpal salah seorang pelaku wisata yang meminta identitasnya tidak dibuka.
Diskusi pariwisata yang diinisiasi GM Hotel Santika Mataram, Reza Bovier, kali ini merupakan seri kedua rangkaian diskusi santai tentang pariwisata NTB.
Sedikit lebih ramai dibanding diskusi pertama awal Januari lalu, kali ini beberapa GM hotel, sales executive, praktisi pariwisata, turut hadir. Lebih banyak juga wartawan pariwisata yang mulai mau terlibat.
"Kami tertarik hadir dan ikut diskusi ini agar bisa menangkap perspektif yang utuh (tentang) kondisi pariwisata kita," kata Nur Imansyah, pewarta yang bekerja untuk LKBN Antara Biro Mataram.
Menurut Iman, diskusi seperti ini menarik karena pelaku wisata bisa dengan gamblang menyampaikan uneg-uneg mereka.
Sebab, selama ini kesannya pelaku wisata di NTB hanya mengamini apa pun pendapat dan statemen Pemda di media massa, bahkan ketika dikonfirmasi dalam sebuah wawancara sekali pun.
Koresponden Harian Kompas, H Hairul Anwar mengatakan, kecenderungan saling menyalahkan tentu tidak baik. Namun, kecenderungan mengamini apa yang sebenarnya tidak tepat, juga lebih tidak baik lagi.
Sementara dari sisi jurnalistik, tugas pewarta adalah memberitakan fakta sesuai apa adanya.
"Kondisi pariwisata NTB ini dilematis bagi kami. Semua termasuk wartawan tentu ingin (menyiarkan) berita positif tentang pariwisata NTB dalam semangat bangkit kembali. Tapi mau ditulis bagus pun, kalau faktanya seperti ini tentu juga tidak baik untuk kami. Diskusi seperti ini saya pikir sangat bagus, apalagi kalau bisa melibatkan juga pihak terkait dari Pemda, baik Provinsi dan daerah Kabupaten Kota," katanya.
Seperti peserta diskusi lainnya, Hairul berharap diskusi seperti ini bisa menjadi awal yang baik untuk membangun persepsi yang sama, kemudian sinergitas antar semua pihak untuk memformulasikan langkah-langkah kongkrit mendorong pariwisata NTB bangkit kembali.
Dana besar sudah terlanjur mengalir untuk Recovery Pariwisata pasca bencana. Nilainya berkisar Rp20 Miliar dari Kementerian Pariwisata RI. Toh, efeknya tidak punya daya ungkit juga.
Pemetaan masalah yang keliru menjadi musabab tidak maksimalnya recovery. Pepatah bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, nampaknya dilupakan Pemda justru disaat pepatah ini diingat sampai terbawa mimpi.
Ya, recovery dan kembali bangkitnya pariwisata NTB harusnya memang menjadi mimpi bersama yang harus diraih dengan sinergitas dan kebersamaan pula.
Kuncinya pelibatan semua pihak dalam merumuskan teknis recovery. Apa dan siapa berbuat apa yang mereka bisa lakukan, dan dukungan apa yang sama-sama mereka butuhkan dan bisa berikan.
Ini masih belum telat. NTB memiliki belasan event dalam CoE Pariwisata 2019 hingga Desember nanti. Masih banyak ruang dan waktu untuk melibatkan pelaku wisata dalam setiap event-event yang belum terselenggara.
"Ada statement orang (Dinas) Pariwisata, bahwa pariwisata kita sudah membaik. Ya dia gunakan Hotel Santika atau Hotel di Kota Mataram yang kelihatannya ramai. Ini kan lucu, indikatornya terlalu sempit dan keliru, karena di saat yang sama Senggigi kami masih sepi," kata Binang Oddie.
Tidak banyak dan sulit yang diminta para pelaku wisata di Senggigi. Misalnya bagaimana Pemda bisa mendorong lebih banyak kegiatan di kawasan wisata itu.
Sebab, potret ramainya hotel-hotel di Kota Mataram, tidak serta merta bisa menjadi indikator yang sama untuk kawasan Senggigi.
"Dulu kan memang (kunjungan wisatawan) sangat ramai, beda dengan sekarang. Ibaratnya dulu kita Pizza, sekarang Lemper. Santika dapat Pizza bisa dibagi untuk kami di Senggigi, tapi sekarang cuma lemper dimakan Santika saja masih kurang," tukasnya.
Selaku inisiator diskusi, GM Hotel Santika Mataram, Reza Bovier mengatakan, diskusi pariwisata ini akan diteruskan secara reguler.
Ke depan dalam diskusi ke tiga, akan mulai diupayakan melibatkan perwakilan Pemda atau Dinas Pariwisata, stakeholders kepariwisataan.
Pola diskusi juga akan disesuaikan tematik, misalnya membahas fokus pada masalah kebersihan, atau strategi promosi, dan tema lain tentang pariwisata.
Dengan begitu, diharapkan hasil diskusi bisa menjadi rekomendasi-rekomendasi kesepakatan antar pihak, dalam menyelesaikan satu masalah.
Ibarat dongeng klasik, Senggigi kini adalah Putri Salju yang "mati suri" dan menunggu cipika-cipiki dari Pangeran impian yang bisa membuatnya tersadar dan bangkit kembali.
Bedanya, sang Pangeran impian untuk Senggigi masih sulit ditemukan, lantaran masih sangat banyak liliput yang bertingkah seperti Pangeran.
No comments:
Post a Comment