|
Meski membantah kondisi mereka terlantar, namun para mahasiswa ini mengaku kecewa karena tak menemukan apa yang mereka harapkan.
"Kalau terlantar sih tidak. Kami baik-baik saja di sini. Tapi kalau kecewa, ya jelas sangat kecewa, karena ternyata harapan tidak sesuai kenyataan. Kami minta pulang," kata Muhammad Natsir, saat dihubungi MandalikaPost.com, Selasa malam (3/9) dari Mataram.
BACA JUGA : Pemprov NTB dan Chodang University Korea Tandatangani LOI Kerjasama Bidang Pendidikan dan Kesehatan
Natsir merupakan salah seorang dari 18 orang tenaga kesehatan NTB yang ikut sebagai mahasiswa program percepatan S1 di Chodang University, Korea Selatan.
Menurut Natsir, sejak pekan lalu ia bersama belasan rekan lainnya sudah menyampaikan ke pihak Chodang University, untuk mengakhiri kepesertaan mereka dalam program pendidikan.
"Kita sudah sampaikan tidak melanjutkan program ini ke pihak Chodang, dan kami pun sudah keluar dari asrama. Ya sejak pekan lalu," kata Natsir.
18 tenaga kesehatan asal NTB yang saat ini berada di Korea Selatan merupakan bagian dari 35 peserta program percepatan S1, kerjasama Pemprov NTB dengan Chodang University.
Sebelumnya mereka lulus dalam seleksi terbuka yang diselenggarakan Dinas Kesehatan Provinsi NTB dan RSUD Provinsi NTB pada Oktober-Desember 2018 lalu.
Pada Januari 2019, Pemprov NTB dan Chodang University menandatangani dokumen LOI untuk program kerjasama bidang pendidikan dan kesehatan ini.
"Kami diberangkatkan pada Maret (2019). Tapi karena ada masalah visa, sehingga yang bisa berangkat hanya 18 orang. 17 lainnya belum berangkat," kata Natsir.
Tenaga medis di RSUD Narmada, Lombok Barat ini mengaku tertarik mengikuti program ini, demi meningkatkan kapasitas keilmuannya di bidang keperawatan.
Hal ini tak lain demi peningkatan pelayanan medis di rumah sakit tempatnya bekerja, sekembali dari menempuh pendidikan.
BACA JUGA : Dubes RI Pastikan Tak Ada Mahasiswa NTB yang Terlantar di Korea
Natsir mengatakan, ia mulai menyadari ada yang tidak beres dengan program ini setelah berada di Chodang University, Korea Selatan.
Ia mengungkapkan, awalnya program ini menawarkan para lulusan D3 Kesehatan bisa meraih S1 mereka hanya dalam dua semester atau setahun.
Namun untuk memulai pendidikan itu, mereka harus mengikuti program keahlian bahasa Korea selama satu semester.
"Saat ini mahasiswa baru lulus uji topik level 1 dan 2. Padahal syarat untuk masuk jurusan di universitas ditetapkan harus level 3,"katanya.
Selain itu, dari tujuh program studi yang ditawarkan di awal seleksi ternyata hanya ada satu program yang bisa diakses melalui program percepatan S1 ini.
Natsir misalnya, yang ingin masuk di Prodi Keperawatan harus gigit jari. Sebab, program tersebut merupakan program reguler yang harus ditempuh setidaknya empat tahun pendidikan.
"Jadi hanya ada satu program yakni medical management yang bisa diakses. Saya yang ingin ambil S1 keperawatan, ya harus lewat reguler dan waktunya akan lebih panjang sampai empat tahun, dan kemampuan bahasa Korea harus level 4. Ada juga program yang ternyata sudah tutup sejak tahun lalu, nah teman-teman yang ingin ambil program ini juga nggak bisa," katanya.
Natsir mengatakan, 18 peserta program ini merasa kecewa. Selain rugi waktu dan juga biaya, mereka juga harus menanggung beban hutang biaya pendidikan.
Pilihan untuk berhenti dan keluar dari asrama, menurutnya, diambil setelah berbagai pertimbangan. Termasuk, agar jangan sampai biaya yang mereka tanggung lebih membengkak.
"Akhirnya kami pilih berhenti, dan meminta refund dari pihak Chodang. Sebab, kalau terus berada di asrama, maka tidak akan ada dana yang bisa di-refund," katanya.
Ia mengaku pasrah dan tidak menyalahkan Pemprov NTB dalam masalah ini. Apalagi, utusan pejabat Pemprov NTB sudah menemui mereka di Korea Selatan dan menjamin biaya akomodasi dan biaya hidup di luar asrama, sambil menunggu waktu pemulangan.
MENUNGGU KEPULANGAN. Mahasiswa asal NTB sholat berjamaah di asrama Chodang University, Korea Selatan. Saat ini mereka menunggu pemulangan. (Foto: Dokumentasi/Istimewa) |
Nasib yang lebih miris dirasakan pasangan suami istri, yang ikut dalam program percepatan S1 di Korea ini. Sebut saja pasangan Bunga dan Kumbang, sebagai nama samaran.
Bunga dan Kumbang sama-sama lulusan D3 Keperawatan yang bekerja sebagai tenaga kesehatan di klinik swasta di Lombok.
Karena tergiur dengan program percepatan S1 ini, keduanya memutuskan untuk ikut dan resign dari pekerjaan.
Dalam proses seleksi di Dinas Kesehatan NTB, keduanya lulus dan masuk dalam 35 orang peserta yang akan diberangkatkan.
"Tapi saat pemberangkatan, kami terpisah. Istri saya berangkat bersama rombongan yang 18 orang, sementara saya tidak bisa berangkat. Kita yang gagal berangkat ada 17 orang," kata Kumbang, Selasa malam (3/9).
Yang membuatnya semakin gelisah adalah hutang yang pasti menumpuk, sementara mereka sudah resign dari pekerjaan awal.
Biaya pendidikan untuk program ini mencapai Rp80 juta. Sebagian disubsidi pemerintah daerah, dan sekitar Rp60 juta harus ditanggung sendiri oleh peserta.
Menurut Kumbang, Pemprov NTB memang memfasilitasi pinjaman sebesar Rp60 juta per orang melalui Bank NTB Syariah.
Awalnya hutang sebesar itu tak menjadi masalah dalam benak Kumbang dan Bunga. Apalagi dalam pemaparan sebelum pemberangkatan dijanjikan, selain kuliah mereka juga bisa bekerja parttime dengan upah bisa mencapai Rp10 hingga Rp20 juta per bulan.
"Ya kita jadi merasa aman kalau bisa bekerja, agar hutang untuk biaya pendidikan itu bisa kita cicil, lunasi. Tapi sekarang, dengan masalah seperti ini jelas kami akan sangat kesulitan," katanya.
Ia berharap Pemprov NTB benar-benar bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik dan bijak. Agar jangan sampai ada lagi yang merasakan seperti yang mereka rasakan. (*/Bersambung)
No comments:
Post a Comment