DISKUSI ASIK. Diskusi publik yang digelar LBH Progres di Bale ITE NTB, membahas RUU "bermasalah". |
MATARAM - Problematika rancangan undang-undang (RUU) bermasalah menimbulkan reaksi penolakan dari kalangan mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia. Tidak jarang, aksi menimbulkan bentrokan dengan aparat hingga berujung kematian.
Di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, beberapa kali mahasiswa menggelar aksi di Kantor DPRD NTB menuntut pembatalan RUU bermasalah seperti RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Pertambangan Minerba, UU KPK hingga RUU Pertambangan Minerba.
Guna mencari solusi terkait polemik tersebut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Progres menggelar diskusi publik bertema "Problematika Rugulasi dan Aksi Demonstrasi di Indonesia", Senin malam (7/10) di Bale Ite, Kota Mataram.
Direktur LBH Progres, Oke Wire Darme, mengatakan dialog bertajuk diskusiasik tersebut untuk memfasilitasi mahasiswa dan pegiat antikorupsi mencari solusi bersama pihak terkait seperti pemerintah daerah, kepolisian, ahli hukum hingga praktis.
"Tujuan kegiatan salah satunya mencoba memfasilitasi mahasiswa yang melakukan aksi. LBH Progres dalam program kerja juga untuk menjaga marwah kesucian demonstrasi untuk memfasilitasi mahasiswa dan instansi," katanya.
Hasil diskusi akan dituangkan dalam naskah akademik untuk dipelajari bersama soal problematika aksi dan RUU bermasalah itu.
"Rekomendasi dari diskusi ini kita buat dalam naskah akademik dan kita kirimkan pada yang hadir hari ini," ujarnya.
Hadir dalam diskusi tersebut, Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Mataram (Unram), Prof Zainal Asikin, para dosen, kepolisian, unsur pemerintah daerah hingga mahasiswa.
Dalam diskusi tersebut, dibedah permasalahan dalam RKUHP yang sebagian besar sepakat justru tidak ada masalah serius dalam pasal-pasal yang dinilai kontroversi dalam RKUHP.
Prof Asikin mengatakan, sebagian besar pasal yang dinilai bermasalah dalam RKUHP justru tidak bermasalah, bahkan RKUHP saat ini mengakomodir nilai yang hidup dalam masyarakat atau hukum adat sebagai hukum yang diakui dalam RKUHP.
"Apakah kita paling senang memakai hukum Belanda atau ciptaan Indonesia. Pasal 2 ayat (1) RKUHP menghargai hukum yang hidup dalam masyarakat," ujarnya.
Dia mengatakan, polemik terhadap RKUHP karena kurangnya sosialisasi pada masyarakat, sehingga masyarakat beranggapan pasal tersebut justru memiliki masalah yang berisiko bagi mereka.
Terkait UU KPK, Prof Asikin memandang memang harus memiliki pengawas independen. Hal itu karena KPK menurutnya bukan merupakan lembaga suci yang tidak memerlukan pengawasan.
"Tapi, pengawasnya jangan dari DPR, karena kita tahu sendiri bagaimana DPR kita," ujarnya.
Dosen Universitas Muhammadiyah Mataram, Dr Hilman Syahrial Haq, memandang bahwa dewan pengawas independen pada KPK saat belum terlalu urgen. Dia meyakini KPK masih dalam semangat pemberantasan korupsi yang tetap independen.
"UU KPK sudah komplit, tidak perlu disahkan UU yang baru secepat itu," ujarnya.
Dosen FH Unram, Syamsul Hidayat berbicara tentang RKUHP. Dia menilai KUHP saat ini jika dianalogikan seperti bangunan tua yang hampir roboh. Hukum mengikuti masyarakat dan zaman, sehingga perkembangan zaman mempengaruhi hukum itu sendiri.
"RKUHP ada beberapa hal yang melatarbelakangi mengapa harus disahkan. Karena ini sudah bangunan tua, akan roboh jika tidak dilakukan pembaharuan. Sudah saatnya rekonstruksi kembali bagaimana hukum yang ada di Indonesia," katanya.
Kendati demikian, dia mengakui memang ada beberapa pasal dalam RKUHP yang butuh diperjelas agar ke depannya tidak multitafsir. Sehingga, perlu pembahasan lagi untuk penyempurnaan.
Dia menjelaskan, RKUHP juga mengadopsi mazhab determinis, di mana manusia tidak sepenuhnya memiliki kebebasan atas yang dilakukan.
"Apa artinya mazhab determinis, pada intinya manusia tidak punya kehendak bebas. Kalau anda melakukan kejahatan anda akan mendapatkan ganjaran. Mazhab ini yang diturunkan ke KUHP. Rumusan KUHP sudah mencerminkan mazhab determinis.
Refleksi Aksi Mahasiswa
Reaksi penolakan terhadap RUU bermasalah digelar mahasiswa di berbagai daerah, termasuk NTB. Puluhan mahasiswa di Kota Mataram terluka akibat bentrokan.
Kabid Hukum Polda NTB, Komisaris Besar Polisi Abdul Azas Siagian, mengatakan polisi yang bertindak mengawal demonstrasi dilarang membawa dan menggunakan senjata api dan peluru tajam, sehingga ketika menemukan peluru di lapangan, ada indikasi kuat polisi melakukan pelanggaran.
"Sudah beberapa polisi diperiksa terkait kasus kematian mahasiswa (dua mahasiswa di Kendari)," katanya.
Menurutnya, polisi memiliki pengawasan mulai dari Kompolnas, Propam hingga mekanisme pra peradilan untuk menguji tindakan polisi.
Sementara, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Mataram, Dr Lalu Wira Pria Suhartana, mengatakan aksi yang dilakukan mahasiswa di berbagai daerah belakangan ini perlu direfleksikan kembali kemunculan dan dampaknya.
Namun baginya, aksi muncul dari reaksi terhadap sebuah kebijakan. Aksi tersebut merupakan prinsip dasar kemerdekaan dan merupakan kedaulatan rakyat.
"Prinsip dasar kemerdekaan, adalah hak segala bangsa. Kemerdekaan ini perlu dipertahankan. Basis kemerdekaan adalah kedaulatan rakyat, adalah Pancasila. Kita harus sadari rakyat memiliki kedaulatan," katanya.
Dr Wira mengatakan terjadi paradoks konsep norma fundamental di Indonesia. Konsep kekuasaan yang berada di tangan rakyat seolah-olah beralih pada negara. Sementara negara justru semakin identik dengan penguasa.
"Tapi sering kali kita melihat paradok konsep norma fundamental. Konsep kekuasaan seolah beralih pada negara, bukan pada rakyat," katanya. (*)
No comments:
Post a Comment