Kepala Dinas Perdagangan NTB, Hj Putu Selly Andayani. |
MATARAM - Minyak goreng curah akan dilarang beredar dan diperjualbelikan di pasar. Direncanakan, pada 1 Januari 2020 aturan pelarangan itu sudah diberlakukan.
Langkah itu menyusul, pemerintah melalui Menteri Perdagangan telah menerbitkan Peraturan Nomor 21 tahun 2015 yang melarang minyak curah tidak dapat dijual secara bebas di pasaran. Selain itu, minyak goreng yang beredar di pasaran harus dikemas.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Perdagangan NTB Hj. Putu Selly Andayani mengaku, pihaknya sudah mendapatkan instruksi dari Kementerian Perdagangan. Maka tinggal pelaksanaan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 80/2014 saja.
Oleh karena itu, pihaknya telah membuat surat edaran pada Dinas Perdagangan di kabupaten/kota di NTB, untuk melakukan sosialisasi terkait pelarangan tersebut. Apalagi, tenggat waktu sudah diberikan waktu cukup panjang sejak tahun 2015 lalu untuk mempersiapkannya.
“Yang pasti, Permendag RI Nomor 21 tahun 2015 tidak lain untuk melindungi konsumen. Ingat, minyak curah dari segi higienis dikhawatirkan bisa dioplos dan tidak punya standarisasi,” ujar Selly, Selasa (15/10) di Mataram.
Menurut Selly, dari pantauannya di pasaran saat ini, sudah banyak sekali jenis minyak goreng bekas yang sudah tercampur dari waralaba.
Padahal, jika dikonsumsi oleh masyarakat hal tersebut akan menyebabkan berbagai penyakit. Diantaranya, kolesterol tensi tinggi dan asam urat.
“Pokoknya minyak curah ini sangat tidak bagus untuk kesehatan masyarakat. Nah, kalau itu dicampur dengan minyak goreng curah, kan bisa membahayakan masyarakat, itu sebenarnya filosofinya,” tegasnya.
Selly mengaku, lantaran ada resistensi dari pelaku industri dan masyarakat, maka Permendag tidak serta-merta diberlakukan. Oleh karena itu, biasanya polanya yang diberlakukan adalah bertahap. Selanjutnya mengedepankan prinsip kebijakan.
“Biasanya, kami tidak menarik semua minyak goreng curah dari pasaran. Karena, pemberlakuan ditunda dan 2020 ini baru diberlakukan. Makanya, peran dari pabrikanlah yang harus bertanggung jawab untuk mengemas minyak goreng curah ini. Harapan ke depan minyak goreng yang tersedia bukan minyak goreng curah lagi, tetapi yang sudah dalam kemasan,” tandasnya.
Selly mengatakan, beberapa pekan ke depan pedagang minyak curah tidak boleh memesan lagi karena sudah diberitahukan pelarangannya dari sekarang. Kecuali mereka menjual minyak dalam kemasan dengan merek Standar Nasional Indonesia (SNI). Selain tidak boleh dijual di pasar, industri pun dilarang menggunakan minyak curah.
Sebab, dikatakan Selly, industri pun tetap akan berujung ke konsumsi dan akhirnya dimakan masyarakat.
Ia menegaskan, maksud dari pemerintah melarang penjualan minyak curah yang tidak memiliki SNI dan kemasan karena dinilai kurang higienis. Jika terjadi sesuatu kepada konsumen dalam hal ini masyarakat, maka akan kemana melacaknya karena minyak curah yang digunakan tidak memiliki kemasan.
"Akan melacak ke pabrik mana, nomor SNI berapa, satuannya apa dan tanggal kedaluarsanya kapan itu kita tidak tahu karena tidak ada kemasannya," ucap Selly.
Selly mengungkapkan, jadi maksud pemerintah memakai SNI dan kemasan untuk memudahkan melacak dan mengendalikan mutu. Supaya bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. (*)
No comments:
Post a Comment